Penerapan pengaturan armada (fleet management) yang rencananya dilakukan dengan membuat sistem pelacakan bus (bus tracking system/BTS) melalui global positioning system (GPS) yang akan dipasang di seluruh bus Transjakarta dinilai mengada-ada dan mubazir.
Akademisi sekaligus peneliti Andrinof A Chaniago mengatakan tidak setuju dengan hal ini. Dia bahkan mempertanyakan manfaat pemasangan GPS itu.
“Kan sudah ada rute dan jalannya yang harus dilewati masing-masing driver busway. Buat apa GPS?” cetusnya saat dihubungi Rakyat Merdeka.
Andrinof lebih setuju jika yang dilakukan berupa pemasangan display yang berisi petunjuk di setiap halte. Alasannya, display di halte-halte lebih memberikan banyak informasi buat calon penumpang.
Dengan adanya display, penumpang bisa mengetahui keberadaan busway yang akan ditumpanginya plus informasi untuk bisa sampai di tempat tujuannya.
“Harus ada display pemberi informasi di setiap halte seperti Singapura. Sehingga bisa menjadi petunjuk atau memberikan informasi lengkap buat penumpang,” ujar Andrinof.
Dia menduga, pengadaan GPS di setiap busway ini merupakan proyek yang terkesan diada-adakan, sementara manfaatnya tidak terlalu signifikan dipasang di bus Transjakarta.
Sedangkan menurut pengamat transportasi Darmaningtyas, hal yang paling penting adalah control room-nya. Biarpun sistem BTS melalui GPS, tanpa ada control room-nya, posisi busway itu tidak akan bisa diketahui sehingga fungsi kedua alat ini menjadi tidak maksimal.
Dia menilai, apa yang ingin dilakukan pemprov sebenarnya bermaksud baik. Tapi fungsinya justru yang masih dipertanyakan. Karena itu, saat ditanya sejauh mana tingkat efektivitasnya, dia tak bisa menilai karena belum ada control room-nya.
“Sebetulnya itu (control room–red) sudah direkomendasikan sejak awal pembangunan busway. Tapi hingga kini belum terlaksana,” kata Darmaningtyas kepada Rakyat Merdeka.
Anggota Komisi D (bidang Transportasi) DPRD DKI Jakarta Sandy mengatakan, pemprov harus bisa menjelaskan lebih dulu mengenai fungsi GPS tersebut. Pada dasarnya, dia mengaku tidak keberatan dengan pengadaan alat ini. Apalagi jika mampu mengoptimalkan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat.
“Tapi kalau pengadaannya justru berujung pemborosan, lalu fungsinya hanya sesaat, proyek itu tidak bisa dilanjutkan,” ujar Sandy seraya mencontohkan pemasangan portal di jalur busway yang dinilainya tidak efektif dan sebagian sudah tidak berfungsi lagi.
Sandy juga masih mempertanyakan pengadaan GPS di setiap busway. Menurutnya, dia akan membicarakan lagi dan meminta penjelasan dari pihak Badan Layanan Umum (BLU) dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
“Kita akan tanyakan, kenapa alat itu harus dipasang di bus Transjakarta,” katanya. (nusantara.rakyatmerdeka.co.id)
Akademisi sekaligus peneliti Andrinof A Chaniago mengatakan tidak setuju dengan hal ini. Dia bahkan mempertanyakan manfaat pemasangan GPS itu.
“Kan sudah ada rute dan jalannya yang harus dilewati masing-masing driver busway. Buat apa GPS?” cetusnya saat dihubungi Rakyat Merdeka.
Andrinof lebih setuju jika yang dilakukan berupa pemasangan display yang berisi petunjuk di setiap halte. Alasannya, display di halte-halte lebih memberikan banyak informasi buat calon penumpang.
Dengan adanya display, penumpang bisa mengetahui keberadaan busway yang akan ditumpanginya plus informasi untuk bisa sampai di tempat tujuannya.
“Harus ada display pemberi informasi di setiap halte seperti Singapura. Sehingga bisa menjadi petunjuk atau memberikan informasi lengkap buat penumpang,” ujar Andrinof.
Dia menduga, pengadaan GPS di setiap busway ini merupakan proyek yang terkesan diada-adakan, sementara manfaatnya tidak terlalu signifikan dipasang di bus Transjakarta.
Sedangkan menurut pengamat transportasi Darmaningtyas, hal yang paling penting adalah control room-nya. Biarpun sistem BTS melalui GPS, tanpa ada control room-nya, posisi busway itu tidak akan bisa diketahui sehingga fungsi kedua alat ini menjadi tidak maksimal.
Dia menilai, apa yang ingin dilakukan pemprov sebenarnya bermaksud baik. Tapi fungsinya justru yang masih dipertanyakan. Karena itu, saat ditanya sejauh mana tingkat efektivitasnya, dia tak bisa menilai karena belum ada control room-nya.
“Sebetulnya itu (control room–red) sudah direkomendasikan sejak awal pembangunan busway. Tapi hingga kini belum terlaksana,” kata Darmaningtyas kepada Rakyat Merdeka.
Anggota Komisi D (bidang Transportasi) DPRD DKI Jakarta Sandy mengatakan, pemprov harus bisa menjelaskan lebih dulu mengenai fungsi GPS tersebut. Pada dasarnya, dia mengaku tidak keberatan dengan pengadaan alat ini. Apalagi jika mampu mengoptimalkan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat.
“Tapi kalau pengadaannya justru berujung pemborosan, lalu fungsinya hanya sesaat, proyek itu tidak bisa dilanjutkan,” ujar Sandy seraya mencontohkan pemasangan portal di jalur busway yang dinilainya tidak efektif dan sebagian sudah tidak berfungsi lagi.
Sandy juga masih mempertanyakan pengadaan GPS di setiap busway. Menurutnya, dia akan membicarakan lagi dan meminta penjelasan dari pihak Badan Layanan Umum (BLU) dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
“Kita akan tanyakan, kenapa alat itu harus dipasang di bus Transjakarta,” katanya. (nusantara.rakyatmerdeka.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar