Hidayatullah.com--Pemimpin Israel memperingatkan terhadap kemungkinan munculnya pemerintahan Islam di Mesir. Kemungkinan ini rupanya menjadi ketakutan Israel jika kekuasaan Hosni Mubarak benar-benar terancam.
Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, memperingatkan situasi akan seperti di Iran, jika kelompok Islam menggantikan Mubarak.
Shimon Peres, Presiden Israel juga memperingatkan bahwa "ekstremis", demikian ia menyebutk kelompok Islam, bisa mengambil keuntungan dari protes yang populer di Mesir untuk mencoba merebut kekuasaan, seolah menutupi kekejaman rezim Mubarak dalam mendholimi aktivis Islam di negeri itu.
Di kutip sebuah koran Israel, Peres, telah bertemu dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang sedang membicarakan kemungkinan dampak perubahan Mesir. Menurut media Israel, tercermin ketakutan Israel bahwa Pemilu yang demokratis di Mesir bisa mendorong naiknya kekuatan kelompok-kelompok Islam yang ramah terhadap Hamas dan organisasi lainnya yang berujung pada permusuhan dengan Israel .
“Dunia sebaiknya belajar dari apa yang terjadi di Gaza, ujar Peres kepada Merkel. Referensi kemenangan Hamass atas kelompok sekuler Fatah dalam pemilihan legislatif Palestina pada 2006.
Kelompok ini kemudian dimasukkan ke dalam pemerintah koalisi dengan Fatah, namun setahun kemudian, Hamas mengusir pasukan Fatah dari Gaza dan sejak itu menguasai daerah-daerah yang dikendalikan. Pengambilalihan mendesak presiden Palestina dan Fatah pemimpin, Mahmoud Abbas, untuk melarutkan persekutuan. Ketegangan antara kedua kelompok sejak meningkat.
“Dunia melihat apa yang terjadi di Gaza ketika pemilihan demokratis terjadi di mana demokrasi yang diberikan Hamas justru tak memberi nilai apapun, “ demikian tuduh Perez, sebagaimana dikutip laman www.thenational.ae.
Sebelumnya Netanyahu bahkan terang-terangan kekhawatiran kelompok Islam berkuasa.
"Di tengah kekacauan, sebuah kelompok Islam terorganisir dapat mengambil alih negara. Itu terjadi di Iran dan juga di tempat lain," kata Netanyahu dalam sebuah konferensi pers pada hari Senin (31/1).
"Perdamaian antara Israel dan Mesir telah ada selama lebih dari tiga dekade dan tujuan Zionis adalah "untuk memastikan bahwa hubungan itu tetap eksis," tambah Netanyahu.
Senada dengan Netanyahu, dalam pernyataannya hari Ahad (30/1), Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah menunjukkan ketidaksukaan jika Islam yang menang pasca Mubarak.
"Yang tidak kami inginkan adalah ideologi radikal mengambil alih negara yang sangat besar dan penting di wilayah Timur Tengah ini," kata Hillary Clinton sebagaimana dikuti AP.
Israel (termasuk Amerika) tentu prihatin tentang kemungkinan perubahan rezim di Mesir yang dapat membahayakan perjanjian damai yang ditandatangani antara kedua belah pihak pada tahun 1979. Bagaimanapun, semasa Mubarak, Mesir menjadi sahabat dekat Israel.
Jika kelompok Islam menang, situasi akan berubah. Termasuk merubah peta hubungan antara Mesir dan Palestina. Hal inilah yang kemungkinan tak akan diinginkan Zionis dan Amerika. *
Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, memperingatkan situasi akan seperti di Iran, jika kelompok Islam menggantikan Mubarak.
Shimon Peres, Presiden Israel juga memperingatkan bahwa "ekstremis", demikian ia menyebutk kelompok Islam, bisa mengambil keuntungan dari protes yang populer di Mesir untuk mencoba merebut kekuasaan, seolah menutupi kekejaman rezim Mubarak dalam mendholimi aktivis Islam di negeri itu.
Di kutip sebuah koran Israel, Peres, telah bertemu dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang sedang membicarakan kemungkinan dampak perubahan Mesir. Menurut media Israel, tercermin ketakutan Israel bahwa Pemilu yang demokratis di Mesir bisa mendorong naiknya kekuatan kelompok-kelompok Islam yang ramah terhadap Hamas dan organisasi lainnya yang berujung pada permusuhan dengan Israel .
“Dunia sebaiknya belajar dari apa yang terjadi di Gaza, ujar Peres kepada Merkel. Referensi kemenangan Hamass atas kelompok sekuler Fatah dalam pemilihan legislatif Palestina pada 2006.
Kelompok ini kemudian dimasukkan ke dalam pemerintah koalisi dengan Fatah, namun setahun kemudian, Hamas mengusir pasukan Fatah dari Gaza dan sejak itu menguasai daerah-daerah yang dikendalikan. Pengambilalihan mendesak presiden Palestina dan Fatah pemimpin, Mahmoud Abbas, untuk melarutkan persekutuan. Ketegangan antara kedua kelompok sejak meningkat.
“Dunia melihat apa yang terjadi di Gaza ketika pemilihan demokratis terjadi di mana demokrasi yang diberikan Hamas justru tak memberi nilai apapun, “ demikian tuduh Perez, sebagaimana dikutip laman www.thenational.ae.
Sebelumnya Netanyahu bahkan terang-terangan kekhawatiran kelompok Islam berkuasa.
"Di tengah kekacauan, sebuah kelompok Islam terorganisir dapat mengambil alih negara. Itu terjadi di Iran dan juga di tempat lain," kata Netanyahu dalam sebuah konferensi pers pada hari Senin (31/1).
"Perdamaian antara Israel dan Mesir telah ada selama lebih dari tiga dekade dan tujuan Zionis adalah "untuk memastikan bahwa hubungan itu tetap eksis," tambah Netanyahu.
Senada dengan Netanyahu, dalam pernyataannya hari Ahad (30/1), Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah menunjukkan ketidaksukaan jika Islam yang menang pasca Mubarak.
"Yang tidak kami inginkan adalah ideologi radikal mengambil alih negara yang sangat besar dan penting di wilayah Timur Tengah ini," kata Hillary Clinton sebagaimana dikuti AP.
Israel (termasuk Amerika) tentu prihatin tentang kemungkinan perubahan rezim di Mesir yang dapat membahayakan perjanjian damai yang ditandatangani antara kedua belah pihak pada tahun 1979. Bagaimanapun, semasa Mubarak, Mesir menjadi sahabat dekat Israel.
Jika kelompok Islam menang, situasi akan berubah. Termasuk merubah peta hubungan antara Mesir dan Palestina. Hal inilah yang kemungkinan tak akan diinginkan Zionis dan Amerika. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar